Kerja Kapal Ikan
TEMPO.CO, Brebes
- Sejumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di kapal ikan
Taiwan pulang dengan tangan hampa setelah mendapat perlakuan tidak
manusiawi dari majikannya. Kebanyakan pelaut pelaut indonesia ini terbuai janji manis broker broker indonesia yang tidak bertanggung jawab di tambah dengan proses perekrutan yang serba gratis tanpa mereka ketahui bahwa " theres no free lunch" alias tidak ada service yang gratis setiap jasa harus ada bayaranya.
"Tapi pemerintah menutup mata. Sebab,
media juga lebih banyak mengekspos kisah TKI yang menjadi pembantu rumah
tangga," kata Tubagus Herlambang, 42 tahun, warga Desa Songgom Lor,
Kecamatan Songgom, Kabupaten Brebes, Senin, 16 Desember 2013.
Tubagus
adalah tetangga Wahyono, 29 tahun, TKI yang meninggal pada Agustus
2012. Ia meninggal setelah dianiaya majikannya selama dua bulan bekerja
di kapal ikan Hung Shun, Taiwan. Meski juga tidak digaji selama bekerja
di kapal ikan Taiwan, nasib Tubagus lebih beruntung daripada Wahyono.
Sebab,
ia pulang dalam kondisi sehat. Tapi rasa pusing terkadang masih ia
rasakan akibat kepalanya pernah tertimpa cumi-cumi seberat 18 kilogram.
"Sama sekali tidak ada pengobatan di kapal saat itu," ujarnya.
Dari
paspornya, Tubagus berangkat ke Taiwan pada 6 Januari 2012 dan pulang
ke Indonesia pada 13 Juli 2012. Kemiskinan yang memaksa ayah dua anak
itu merantau ke Taiwan. Padahal, sejak awal ia sudah tahu gajinya hanya
160 USD per bulan (saat itu sekitar Rp 1,6 juta). Parahnya lagi, gaji
baru akan dibayarkan setelah selesai kontrak dua tahun kerja.
Meski
demikian, bekas nelayan di kapal purseine Pemalang itu menyanggupi
persyaratan ganjil dari seorang sponsor yang mendatangi rumahnya. Sebab,
saat itu ia sudah berbulan-bulan menganggur. Setelah semua dokumen
persyaratan diuruskan sponsor, Tubagus memulai petualangannya sebagai
nelayan di kapal Taiwan yang beroperasi di perairan Argentina.
Sebagai
penunggu alat pancing cumi-cumi, Tubagus wajib berdiri di geladak sejak
pukul 16.00 sampai 08.00. Selama 16 jam itu, mandor di kapal terus
mengawasi sekitar 40 pekerja. "Saat itu sedang musim dingin. Saya dan
delapan pekerja lain dari Indonesia terus menggigil," kata Tubagus.
Selama enam bulan berlayar, tidak seharipun mereka diizinkan berlibur.
Kekesalan
Tubagus dan delapan temannya mencapai puncaknya setelah tahu gaji
mereka hanya separuh dari gaji pekerja lain asal Vietnam, Cina, dan
Filipina. Tidak kuat dengan beratnya beban pekerjaan dan rendahnya gaji
yang akan dibayarkan, Tubagus dan delapan pekerja asal Indonesia itu
memutuskan pulang setelah kapal mereka kembali ke Taiwan.
"Kerja
enam bulan itu hangus karena perjanjiannya gaji dibayarkan setelah dua
tahun. Ini sangat tidak adil," ujar Tubagus. Setiba di Indonesia,
Tubagus berniat meminta pertanggungjawaban pada PT Karltigo yang
memberangkatkannya. Tapi, PT di Jakarta itu telah tutup. "Anak saya dulu
pulang sudah tidak bisa jalan. Banyak bekas luka di tubuhnya,? kata
Dasriah, 55 tahun.
Dasriah adalah ibu Wahyono. Anak kedua dari
tiga bersaudara itu pulang dari Taiwan dalam kondisi sakit parah tanpa
membawa uang sepeser pun. Sebelum meninggal, Wahyono sempat diopname
selama 40 hari di RSUD Brebes. Biaya pengobatan itu dari hasil Dasriah
utang ke sejumlah tetangganya. "Habis Rp 10 juta lebih. Sampai sekarang
belum lunas utangnya," ujarnya.
Menurut Ketua Indonesia Fisherman
Federation (IFF) John Albert Situmeang, masih ada ribuan nelayan
Indonesia yang bekerja dengan sistem perbudakan di kapal ikan Taiwan.
"Gaji mustinya dibayar tiap bulan," kata Albert. Ia mengaku sudah
berkali-kali melapor ke BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI). "Tapi tidak pernah digubris," ujarnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment